Analisis Situasi Pasar Kerja


Pada tahun 2002, dari sekitar 148,7 juta penduduk usia kerja terdapat 100,8 juta atau 67,8 persen angkatan kerja. Dari 100,8 juta angkatan kerja 9,1 juta atau 9,1 persen menganggur atau tidak tertampung dalam pasar kerja. Kemudian dari 91,6 juta yang bekerja, sekitar 12,0 juta atau 13,1 persen tergolong setengah menganggur, yakni mereka yang walaupun sudah bekerja tetapi bekerja di bawah waktu normal dan masih mencari kerja. 



Selama 1996-2002, lapangan usaha pertanian mempunyai peran yang sangat strategis bagi ketenagakerjaan Indonesia : secara rata-rata, untuk setiap 10 orang pekerja Indonesia, 4-5 diantaranya bekerja atau berusaha di lapangan usaha itu. Implikasi kebijaksanaan dari fakta ini jelas, adalah tidak realistis jika lapangan usaha pertanian diabaikan dalam kerangka perencanaan pembangunan makro. Lebih dari itu, lapangan usaha pertanian terbukti paling lentur dan telah menjadi semacam katup pengaman bagi "kelebihan" tenaga kerja di sektor formal bukan pertanian yang mengalami pukulan keras dari krisis ekonomi.


Pekerja Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada profesi petani dan tenaga kerja produksi. Profesi-profesi lain yang tergolong memiliki produktivitas tinggi termasuk profesional/teknisi dan mangerial/administrasi masih sangat rendah proporsinya. Hal ini berlaku bagi semua lapangan usaha termasuk industri pengolahan. Lebih dari 90 persen pekerja industri pengolahan berprofesi sebagai tenaga kerja produksi, sementara proporsi tenaga kerja profesional/teknisi atau tenaga managerial/administrasi masih kurang dari satu persen. Selain itu, tingkat pendidikan pekerja Indonesia relatif masih rendah : proporsi pekerja yang berpendidikan SLTP atau pendidikan yang lebih rendah masih sekitar 70 persen. 

Pada tahun 2002, masih sekitar dua-per tiga pekerja bekerja atau berusaha di sektor informal, suatu sektor yang bercirikan berskala serba kecil dilihat dari modal maupun tenaga kerja yang seringkali masih memiliki hubungan keluarga, serta memiliki mobilitas yang tinggi dalam arti mudah berubah bidang kegiatannya. Dengan ciri semacam itu, maka sektor informal sulit diintervensi. Karena sifatnya yang mudah dimasuki, maka sektor informal menjadi semacam "penyangga" yang strategis untuk menampung tenaga kerja "berlebih" yang tidak tertampung di sektor formal.

Gejala lain yang menarik adalah bahwa secara umum, sejak 1998 pekerja sektor formal mengalami kenaikan secara perlahan. Hal ini terutama berlaku di daerah kota untuk semua lapangan usaha bukan pertanian, kecuali jasa. Sedikit penurunan pekerja sektor formal hanya berlaku di daerah pedesaan, terutama untuk lapangan usaha bukan pertanian selama kurun 1998-2000, tetapi kemudian naik dalam 2 (dua) tahun berikutnya. Ini mengindikasikan adanya gejala "pemulihan" ketenagakerjaan, suatu indikasi yang tampaknya berlawanan dengan dugaan banyak pengamat (lihat, misalnya Bappenas 2003).

Kenyataan bahwa secara umum ada kenaikan pekerja sektor formal, sama sekali tidak mengurangi arti pentingnya sektor traditional atau informal yang mendominasi pasar kerja Indonesia. Kenyataan ini tentunya tidak dapat diabaikan dalam rancangan arus utama kebijaksanaan makro dan perencanaan tenaga kerja. Walaupun demikian dalam praktek hal itu tidak mudah diaplikasikan karena dua alasan sederhana, pertama Karakteristik pekerja sektor informasl yang serba marginal sukar diintervensi secara langsung, Kedua Kebijaksanaan yang memperhatikan kepentingan pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal sekaligus masih sulit dirumuskan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis (1997) tergolong tinggi walaupun berfluktuasi. Pada kurun 1976 - 1981 atau era "oil-boom", angka pertumbuhan sekitar 7 - 11 persen per tahun, sebelum mencapai puncaknya, 13,5 persen pada tahun 1982. Akibat penurunan harga minyak di pasar internasional secara berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi turun drastis menjadi hanya sekitar 2,5 persen pada tahun 1985. Walaupun demikian, sejumlah paket reformasi kebijakan dan penyesuaian berhasil menghantarkan Indonesia pada periode transisi (1982-1985) secara relatif mulus, sehingga selama periode itu, angka pertumbuhan mencapai 6,8 persen per tahun. Setelah periode itu, pertumbuhan ekonomi mengalami periode "recovery" (1986-1989) dan "non-oil boom" (1990-1997) dengan rata-rata angka pertumbuhan berturut-turut 6,0 dan 6,9 persen per tahun. Secara keseluruhan, selama periode 1982-1997 angka pertumbuhan mencapai 6,7 persen per tahun.

Perubahan struktural juga terjadi dalam bidang ketenagakerjaan, sebagaimana terlihat antara lain dari pertambahan absolut jumlah tenaga kerja di sektor bukan pertanian. Selama kurun waktu 1990-1997, tenaga kerja sektor bukan pertanian meningkat lebih dari 16,5 juta orang, sebaliknya tenaga kerja di sektor pertanian, barangkali untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, turun lebih dari 6,7 juta orang. Pertambahan tenaga kerja bukan pertanian mencolok di sektor perdagangan, jasa, industri dan konstruksi. Selama kurun waktu itu, tenaga kerja bukan pertanian secara keseluruhan tumbuh sekitar 6,0 persen per tahun.

Krisis ekonomi yang berlangsung mulai pertengahan tahun 1997 mengakibatkan perubahan struktural kinerja perekenomian dan pasar kerja di Indonesia. Pada puncak krisis (1998), perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yang luar biasa sebagaimana ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang mencapai minus 13,1 persen. Pasar kerja juga mengalami perubahan drastis, hanya dalam setahun (1997-1998) sektor bukan pertanian berkurang lebih dari 2,5 juta jiwa, sementara sektor pertanian bertambah lebih dari 4,3 juta jiwa, padahal dalam kurun sebelumnya (1990-1997) telah berkurang sekitar 6,7 juta jiwa. Peralihan tenaga kerja ke sektor pertanian selama krisis memperlihatkan kelenturan atau fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Dampak negatif krisis yang mencolok terjadi pada sektor industri dan konstruksi. Pada kedua sektor tersebut, PDB turun masing-masing 11,4 dan 36,4 persen, sementara tenaga kerja berkurang masing-masing sekitar 1 juta dan 600 ribu orang. Berkurangnya permintaan tenaga kerja di sektor bukan pertanian, memaksa sektor pertanian, sektor yang pada periode non-oil boom "diperlemah", untuk menjadi sektor andalan dalam menampung tenaga kerja yang kehilangan peluang bekerja di sektor bukan pertanian. Peran strategis tersebut tampaknya masih akan diperankan oleh sektor pertanian, sekalipun mulai tampak gejala pemulihan sektor lainnya secara bertahap. Secara absolut, tenaga kerja di sektor pertanian masih bertambah, tetapi tenaga kerja di sektor bukan pertanian juga bertambah hampir dua kali lipat. Utamanya tenaga kerja yang berstatus sebagai buruh, pertumbuhannya jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan tenaga kerja secara keseluruhan.

Dalam pasar kerja Indonesia terdapat semacam mismatch antara lulusan pendidikan dan dunia kerja. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan indeks upah tenaga terdidik (di atas SLTA) antar tahun, relatif terhadap tenaga kerja tak terdidik (di bawah SD), terutama dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan : a) permintaan terhadap tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada permintaan terhadap total tenaga kerja secara keseluruhan, b) permintaan tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada penawaran tenaga kerja terdidik, dan c) dua-duanya. Implikasinya antara lain, ketimpangan upah meningkat, permintaan dan kelangkaan tenaga kerja tidak terpenuhi, dan mengherankan adalah angka penganggur terdidik, sebagaimana disinggung sebelumnya, relatif tinggi terutama di daerah perkotaan.

Aspek lain mengenai upah buruh yang perlu dicermati adalah bahwa perbedaan tingkat upah antara pekerja formal dan informal cenderung melebar sejak kuartal pertama tahun 2000. Gejala ini tampaknya menyerupai pola "Amerika Latin", suatu gejala yang tidak menguntungkan bagi kepentingan pekerja secara keseluruhan.

Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan yang kritis pada umumnya menganggap penganggur bukan masalah ketenagakerjaan yang serius. Argumennya adalah karena, pekerjaan cenderung dikerjakan bersama dan menganggur dianggap sebagai barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Hal itu ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Karena masalahnya dianggap kecil, maka tidaklah mengherankan jika saran penyelesaiannya tampak sederhana.

Tetapi berbeda dengan keadaan 1980-1n, angka penganggur, sebagai salah satu besarnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia, sudah relatif tinggi, bahkan dalam standar internasional. Tidaklah berlebihan bahwa masalah pengangguran kini sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pengamat ekonomi melalui suatu harian terkemuka (Kompas, Juli 2003). Sebagai argumen, pengamat itu mengemukakan angka penganggur yang fantastis, sekitar 18 juta orang, suatu angka yang jauh di atas angka "resmi".

Pada tahun 1997, angka pengangguran sudah mencapai 4,2 juta atau 4,7 persen dari angkatan kerja. Angka itu cenderung terus naik, sehingga pada tahun 2002 menjadi 9,13 juta atau 9,1 persen dari total angkatan kerja. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari yang diharapkan Propenas (5,1 persen) dan lebih tinggi dari pada angka pengangguran untuk tahun 1998, yaitu ketika krisis sedang mencapai puncaknya (hanya 5,5 persen). Kenaikan itu mengindikasikan semakin buruknya masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

Menekan angka penganggur sehingga mencapai tingkat sebagaimana ditargetkan Propenas jelas memerlukan upaya ekstra keras dan sistematis. Angka penganggur sampai tahun 2009 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa atau 5,5 persen dari total angkatan kerja.

Seperti halnya target Propenas untuk menurunkan angka penganggur, target Propenas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena pada kurun 2005-2009 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan hanya sekitar 6 persen.

Masalah setengah penganggur juga tidak dapat diabaikan, terutama jika fokusnya diarahkan pada daerah pedesaan. Total pekerja yang berkategori setengah penganggur pada tahun 2002 berjumlah 12,0 juta jiwa atau 13,1 persen dari total penduduk yang bekerja.

Sumber: http://www.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar