Pulau Laut Indra Putra


Konon, Batera Majapahit dan Permaisuri mendapat sepasang putra dan putri kembar yang elok wajahnya. Indra Putra yang laki-laki dan yang perempuan bernama Dewi Peteri. Anak manja, buah hati sebiji mata, jadi kesayangan kaum bangsawan seisi istana.

Namun, lain halnya selir baginda. Mereka menaruh perasaan dendam. “Selagi Permaisuri berputra-putri kesayangan Batara, kita akan singkir,” kata salah seorang dari mereka. “Keduanya jadi duri dalam daging.” 


Pada suatu hari, tujuh selir sepakat mempengaruhi Dayang Tua dan berkata, “Intip Putra-putri Batara yang kembar berwajah nyaris serupa itu. Cari saatnya yang tepat, mereka tengah duduk bercengkeraman sama remaja. Katanya bahwa meraka berlaku sumbang hendak kawin dua bersaudara yang sedarah.” Para selir itu juga menyerahkan sepundi uang emas kepada Dayang Tua.

“Hamba maklum,” sahut Dayang Tua seraya menuju taman bunga Sari Warna, tempat berlibur kebanggaan anak raja-raja pada zamannya itu.
Di situlah dua beradik kembar Indra Putra dan Dewi Peteri sedang beristrah. Keduanya duduk bergandingan (berdekatan) sambaing bercengkeraman.

“Tidaklah terdapat putri semolek-separas wajah adikndaku Dewi Peteri, haram Kekanda tidak akan kawin seumur-hidup,” Kata Indra Putra. “Entah bagaimana, cinta di hati Kekanda kepada seraut wajah adikndaku sayang…..”

Adiknda pun demikian pula, seperti kekanda juga asyik memendam rasa,” sahut Dewi Peteri. “Tidaklah orangnya selain yang berwajah separas Kekanda Indra Putera itulah suami Adiknda.”

“Nah, bukti nyata. Modal besar bagi segala selir, anak sumbang (Kawin dua beradik yang terlarang oleh adat dan agama) hendak kawin sedarah. Ehm, berarti uang ringgil sepudi untukku lagi,” kata Dayang Tua dalam hatinya seraya berlari perlahan-lahan menunju mahligai selir. Walaupun masih terengah-engah, ia menyampaikan sembah, “Apa yang TuanKu Putri kehendaki dari hamba, dapatlah sudah. Indra Putera dan Dewi Peteri hendak kawin sedarah berlaku sumbang”

“Nah, segera kita kabarkan kepada Baginda Batara,” sahut tujuh selir serempak. Mereka bertujuh diiringi Dayang Tua yang menjadi saksi, segera menghadap Batara.

“Aib telah tercoreng di kening Kekanda Batara, arang hitam tercurah di Istana Majapahit,” sembah mereka Putra Putri kesayangan kita, telah berbuat tak sopan hendak kawin sedarah.”

“Berdebah! Indra Putra dan Dewi Peteri telah belaku sumbang?” kata Baginda Batara Murka. “Buang jauh kedua anak durhaka itu. Sumbang mata sumbang telinga sumbang segala ada-lembaga dan agama!” “Dia anak sumbang, harus digantung tinggi-tinggi, dilempar jauh-jauh, hendak pun dibenamkan dalam-dalam!” tuding Batara lagi.

“Tidaklah sebaiknya Kekanda Batara periksa terlebh dahalu sebelum bertindak?” saggah Permaisuri. “Kaji dahalu benar salahnya, putra dan putri kita sibran tulang jantung hati (anak kesayang). Jangan sampai menyesal kemudian hari sebab hilang satu payah gantinya apalagi berdua. Sekerat-sepenggal pun dia, Indra Putera dan Dewi Puteri itu putra dan putri kita. Penerus zuriat (keturunan) istana.”

“Tidak Anak sumbang jahanam, harus disingkirkan dari istana Majapahit,” sahut Baginda Batara bernada murka. 

“Ampun Ayahda-Bonda,” Indra Putra menyembah, diikuti Dewi Putera dengan beruraikan air mata. “Jika sudah begitu keputusan diraja atas kuasa Batara, hendak diapakan lagi? Menangis air mata darah sekalipun, kami sudah tidak bergunakan. Tidak dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya.”

“Wahai Anakda bedua,” Permaisuri meratap, “sungguh berat rasanya Bonda akan pisah  bercerai jauh, belum sanggup Bonda tanggungkan.”

“Semuanya telah menjadi keputusan Raja berkuasa, wahai Bonda,” kata Indra Putera. “Cuma mohonlah anakda bedua Bonda bekali ketupat tujuah buah. Pasir Pulau Jawa satu tempurung, air tanah jawa satu piala, dan dua bijik kepala benih asli jawa.”

Akhirnya, setelah segala permintaan Indra Putera dan Dewi Puteri itu dipenuhi, berangkatlah angkatan Majapahit mengiringi kenaikan anak sumbang yang akan dibuang jauh itu.

Konon, setelah mengarungi lautan selam tujuh hari tujuh malam, suatu hari tibalah angkatan diraja Majapahit itu di “pusat-arus” di Laut Cina Selatan. Disitulah perahu kenaikan Indra Putera dan Dewi Puteri dilabuhkan, kemudian ditinggalkan terombang-ambing dihatam ombak gelombang Laut Cina Selatan yang dahsyah.

“Buuuur….tek. Klegum” Bunyinya bertalu-talu bagaikan hendak membelah bumi. “Buuur….. tek, Klegum!”

“Ya Allah seru sekalian alam,” kata Indra Putera sambal menadahkan tangannya. “Jika sebanarnya hamba dua beradik seperut-sekandung ini tidak bersalah, tidak berlaku sumbang kawin sedarah, jadikanlah pertanda pasir Pulau Jawa setempurung ini.” Ia melemparkan tempurung pasir di tangannya.

“Buuur….blas!” Cahaya ajaib memancar, dan tiba-tiba timbullah beting (timbunan pasir) terhampar menghalangi perahu putra-putri Batara Majapahit yang tidak berdosa itu. Dua biji kelapa pun dilemparkan ke hamparan pasir itu.

Tiba-tiba tumbuhlah nyiur dengan daunnya melambai-lambai ditiupkan angina. Sssst… Mendesir-desir pada sebuah pulau yang baru saja timbul di permukaan laut.

“Inilah air Tanah Jawa satu piala, meresaplah di pulauku,” Kata Indra Putra seraya meletakkan piala berisi air di tangannya it uke atas sebuah batu karang konon, jadilah air hening-bening di lekuk batu. Air itu tak pernah surut walaupun kemarau Panjang sekalipun.

Keajaiban lain lagi dating menjelma. Dan perai-nasi (butir nasi yang berserakan) ketupat tujuh buah yang dimakan Indra Putera dan Dewi Puteri  duduk besimpuhlah empat puluh empat orang rakyat setia. Dua puluh tiga perempuan dan dua puluh satu laki-laki menjadi penduduk pertama Pulau Laut Indra Putera.


KESIMPULAN

Pulau Laut memang terletak di tengah laut (04055`LU-1080BT). Tersisih disebelah utama Natuna. Tersebut Pulau Piatu karena keterpecilannya itu. Pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Bunguran Barat.

Cerita tentang Pulau Laut ini merupakan legenda lantaran terdapat bekas-bekas peninggalan sejarahnya dan dianggap benar-benar pernah terjadi. Misalnya, batu granit berbentuk buritan perahu lengkap dengan kemudiannya, masih jelas berurutan kayu jati jawa walau sudah menjadi batu. Terdapat pula sebuah perigi sebesar piala di letak di batu di situ, yang airnya ditimba tak pernah susut walaupun pada musim kemarau.

Pulau Laut jadi masyhur setelah menjadi pulau persinggahan beribu-ribu “manusia perahu” pengusian Vietnam, sejak kota Saigon jatuh bulan Agustus 1974 hingga tahun 1988.Di sisi lain, cerita ini mengandung unsur pendidikan sifat tergesa-gesa mengambil keputusan seperti gambaran Batara Majapahit menghukum putra-putri itu adalah tindakan yang amat keliru. Sebaiknya, sifat berani karena benar seperti digambarkan tokoh Indra Putera dan Dewi Peteri, patut pula dijadikan renungan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar